Bulan ini, umurku genap 23 tahun. Usia yang terbilang sudah
cukup dewasa kata orang. Meski aku tahu dalam Islam usia kematangan seseorang
berada pada usia 40 tahun. Yah, setidaknya kini usiaku menginjak setengah dari
kematangan tersebut. Tapi dewasa adalah sebuah kata yang begitu abstrak dan tak
terjelaskan. Aku sendiri tak pernah tahu apakah aku sudah dewasa atau tidak.
Secara fisik aku hanya mengalami sedikit perubahan, tubuhku tetap kurus.
Beratku hanya sekitar 40kg dan tinggiku tidak bertambah signifikan.
Tapi seperti kata orang, dewasa adalah soal kematangan
mental dan emosi bukan hanya soal fisik. Dan aku mulai bertanya kembali, apakah
aku sudah dewasa secara mental? Lagi-lagi aku tak tahu. Yang pasti selama dua
puluh tiga tahun hidup di dunia aku sudah mengalami dan belajar banyak hal.
Perspektifku akan dunia sudah mulai tertanam dan aku mengenal dan mempelajari
banyak karakter dari banyak orang yang kutemui. Dan semua pengalaman itu jelas
membentukku menjadi diriku yang sekarang ini.
Dewasa, adalah sebuah kata tak terjelaskan. Dan sebuah
kondisi dimana aku sendiri tak bisa membayangkan apakah aku bisa sampai ke
tahap itu atau tidak. Tapi sering aku berpikir jika dewasa adalah harus seperti
orang-orang dewasa (dalam hal ini usia menjadi patokannya) kupikir aku tak
ingin menjadi dewasa.
Aku selalu berpikir ingin mengulang dan menjadi aku yang
dulu. Aku ingin kembali ke masa-masa dimana aku bebas melepas sepatu dan masuk
ke sungai belakang sekolah untuk menangkap kecebong. Aku ingin kembali ke
masa-masa dimana aku bebas berlarian di tengah hujan tanpa khawatir akan sakit
dan tak seorang pun menatapku dengan tatapan aneh. Aku ingin kembali main sepak
bola bersama teman-teman dan mandi di sungai setelahnya. Aku ingin masa kecilku
yang dulu dimana aku akan menunggu hujan reda kemudian berlari ke sungai dekat
rumah dan mengumpulkan kakul. Aku ingin kembali memanjat pohon dan membuat
rumah pohon di atasnya.
Masa kecilku itu tanpa sadar hingga kini begitu melekat dan
menjadi karakter yang susah dirubah. Aku tumbuh menjadi gadis tomboy dan lebih
senang berteman dengan laki-laki ketimbang perempuan. Aku tumbuh menjadi wanita
yang susah untuk diam, selalu bicara blak-blakan, tidak gemar berdandan, tapi
penuh semangat dan periang. Masa kecilku bukan hanya sekedar kenangan, tapi
juga cita-cita yang ingin kuulang dan kuwujudkan dalam zaman yang berbeda.
Mungkin banyak orang mengatakan aku masih terlihat
kekanak-kanakan dan tidak berprilaku layaknya orang dewasa. Mungkin benar, tapi
jika menjadi dewasa adalah aku harus berprilaku layaknya orang dewasa dengan
segala rutinitas pekerjaan dan beban di pikiran aku tidak mau. Aku lebih
memilih untuk menjadi anak kecil yang melakukan segala hal dengan semangat dan
kecintaan bukan karena kewajiban. Jika menjadi dewasa adalah aku harus bekerja
siang malam untuk mengumpulkan uang bahkan merelakan cita-citaku hilang, aku
tidak mau. Aku lebih memilih menjadi anak kecil yang bebas untuk bercita-cita
dengan idealisme tinggi. Tanpa rasa takut akan dunia dan siap menerjang segala
keadaan.
Banyak yang bilang bahwa jangan bersikap seperti anak kecil,
berprilakulah dewasa! Kupikir bukankah kita harusnya banyak belajar dari anak
kecil khususnya dalam hal pertemanan. Pertemanan masa kecil adalah sebuah
pertemanan yang murni, tidak karena didasari alasan apa pun. Pertemanan hanya
karena kita membutuhkan teman, bukan uang atau jabatan. Karenanya bila suatu
saat kita berselisih paham yang mungkin hanya karena berebut permen, besoknya
kita sudah akrab kembali seolah kemarin tak pernah terjadi apa-apa. Padahal
saat berselisih kita menangis meraung-raung, saling pukul dan mengadu kepada
orang tua masing-masing.
Sedangkan kita orang dewasa banyak berselisih karena hal-hal
yang lebih rumit tapi sebenarnya lebih remeh dibanding berebut permen. Kita
berselisih karena hal-hal yang setelah dipikir-pikir tidak jelas ujung pangkal
penyebabnya. Kita bisa berselisih bertahun-tahun padahal baru kenal beberapa
bulan. Kita bisa berselisih berbulan-bulan padahal sudah berteman
bertahun-tahun.
Setiap hari silih berganti orang-orang baru datang dalam
kehidupan kita, dan perlahan-lahan kita juga kehilangan mereka. Tapi sebuah
persahabatan tak pernah kenal usia maupun masa. Karena persahabatan tumbuh
seiring dengan bertambahnya usia kita. Dan sama seperti sebuah hubungan percintaan,
hubungan persahabatan ini pun rentan dengan berbagai cobaan. Hanya saja ketika
sebuah hubunga percintaan putus maka akan sangat sulit menyambungnya kembali,
tapi ketika sebuah hubungan persahabatan didera masalah maka ia tidak akan
benar-benar putus.
Sahabat adalah refleksi dari diri kita. Ia adalah saudara
yang terikat bukan karena hubungan darah tapi karena pilihan hati. Ia mampu
melihat apa yang ada dalam diri kita yang kita sendiri tidak bisa lihat. Bahkan
terkadang sahabat lebih mengerti apa yang kita mau dan rasakan dibanding diri
kita sendiri. Ketika kau dan sahabatmu bermasalah dan ia memutuskan untuk
pergi, di sudut hatimu kau tau ia tidak akan benar-benar pergi. Dan kau pun tidak
bisa membuangnya begitu saja, karena membuangnya sama saja dengan membuang
setengah kehidupanmu. Dan di saat kau berusaha untuk melupakannya, maka sebenarnya
di sisi lain kau pun merindukannya. Di saat kau mengatakan; aku tak peduli lagi
dengannya! Sebenarnya diam-diam pun kau memperhatikannya dari jauh.
Saat kau merasa sahabatmu tak memperdulikanmu, dan kau
terluka karenanya sebenarnya ia pun sama terlukanya denganmu. Mengapa? Karena hatimu
merasakan hal yang sama dengannya. Saat kau merasa sahabatmu telah
mengecewakanmu dan kau merasa sakit karenanya, sebenarnya sahabatmu pun pasti
merasa menyesal karenanya. Mengapa? Karena ia tahu apa yang kau rasakan
meskipun kau tak mengatakannya. Dan di saat kau merasa ia tak pernah akan ada
lagi ada untukmu dan kau berhenti untuk memikirkannya, sebenarnya ia pun
memperhatikanmu, hanya saja dari jarak yang tak kau bisa lihat. Mengapa? Karena
ia tahu kemarahanmu masih belum reda dan kehadirannya hanya akan membuatmu
makin terluka.
Seiring bertambahnya usia ego pun akan ikut bertambah. Dan dewasa
adalah sebuah pilihan dimana kita harus menekan ego kita dan menjadikannya
tetap seperti saat kita kecil dulu. Seperti anak-anak yang pemaaf dan mudah
melupakan segala khilaf sang teman. Seperti anak-anak yang lebih senang memikirkan
akan melakukan apa esok dengan temannya bukan orang tua yang lebih senang
memikirkan akan dapat apa esok dari temannya. Seperti anak-anak yang tak sabar
menunggu hari esok demi bertemu temannya, bukan orang tua yang hanya sibuk
menghabiskan sisa hari dengan bekerja.
Seiring bertambahnya usia setidaknya aku paham, menjadi dewasa
adalah proses untuk belajar mengikuti kata hati dibanding logika. Proses untuk
belajar mendengar kata hati dibanding mendengar omongan orang sekitar. Dan itu
berarti kita harus memiliki hati seperti saat kita kecil dulu. Hati seorang
anak kecil yang pemaaf dan penuh kasih. Hati seorang anak kecil yang bukannya
tak mau memusingkan hal-hal kecil tak berarti, tapi hati seorang anak kecil
yang sadar bahwa hati tak bisa dibohongi. Sehingga dengannya ia mudah untuk
memberi maaf dan menerima seorang sahabat untuk kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar