Pages

Masyarakat, Arsitektur dan Lingkungan (I)






“Every big thing, always begin in one little step”

Kenaikan suhu bumi yang terus meningkat tiap tahunnya menjadi isu yang hangat diperbincangkan beberapa tahun terakhir. Hampir semua kalangan turut menaruh perhatian terhadap masalah ini karena dampak dari perubahan iklim sendiri telah dirasakan oleh semua umat manusia di seluruh belahan bumi. Para praktisi dari tiap disiplin ilmu berupaya ikut serta untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang tiap tahun makin bertambah parah.

Sebagai salah seorang mahasiswa arsitektur yang tinggal di Bali, saya turut merasakan perubahan akibat global warming. Salah satunya adalah siklus musim hujan dan kemarau yang semakin tak dapat di prediksi. Suhu udara yang semakin menyiksa terutama di siang hari dan semakin sulitnya mencari air bersih di Bali. Dengan permasalahan pelik seperti ini saya pikir persoalan kerusakan lingkungan tidak dapat dilemparkan begitu saja kepada pemerintah saja atau instansi maupun organisasi tertentu. Setiap orang, masing-masing individu berkewajiban turut serta untuk mencari solusi bersama atas persoalan ini. Karena bumi yang kita pijak, tempat kita tinggal adalah milik kita bersama, rumah kita bersama dan harus kita jaga bersama.

Kesadaran inilah yang membuat kami para arsitek, desainer interior dan calon-calon penerusnya mencoba ikut berupaya dengan ilmu yang kami punya untuk mencegah kerusakan bumi menjadi lebih parah lagi. Karena kami sadar hasil karya kami yang berupa bangunan dan industri yang terkait, turut menyumbang limbah dan emisi yang cukup besar tiap tahunnya. Dan ternyata penyumbang terbesar pemanasan global adalah emisi CO2 dari industri. Industri yang boleh dikatakan berperan paling besar untuk menyumbang gas CO2 adalah industri semen dan baja. Dari data yang pernah kubaca, untuk 3 milyar ton/tahun produksi semen dunia, sekurang-kurangnya ada 1,8 milyar CO2 menguap ke atmosfir. Tentu angka tersebut dapat meningkat pesat tiap tahunnya dengan pertumbuhan industri bangunan yang juga terus bertambah.

Dan kami sebagai aktor yang menentukan jumlah semen maupun baja yang digunakan untuk tiap bangunan tentu harus berpikir dua kali untuk menggunakan kedua bahan tersebut. Oleh karenanya kami berupaya menekan sebisa mungkin pemakaian kedua bahan tersebut dan mencoba menggantinya dengan berbagai alternatif bahan lain yang lebih ramah lingkungan. Para arsitek yang terbilang sangat peduli dengan hal ini seperti Lim Yu Sing dan Ahmad Djuhara terlihat sangat sering menggunakan material-material lokal untuk karya-karya mereka. Bambu, kayu bekas dari bantalan kereta api maupun dari proyek diubah sedemikian rupa oleh mereka menjadi lebih menarik dan tentunya membuat tampilan bangunan menjadi lebih atraktif serta terlihat berbeda.




Sebenarnya untuk mewujudkan bangunan yang ramah lingkungan tidaklah terlalu sulit dan justru bisa dikatakan murah dan relatif mudah dikerjakan. Bangunan yang dikatakan bangunan green adalah bangunan yang dapat meminimalisir dampak-dampak negatif pembangunannya ke lingkungan sekitar. Dan tentunya mampu mengadaptasi kondisi lingkungan ke dalam bangunan. Contohnya, Indonesia yang beriklim tropis yang memiliki curah hujan dan panas yang cukup tinggi tentu membutuhkan rumah dengan atap miring dan bukaan yang cukup sehingga air hujan tidak merembes sampai ke dalam dan bukaan yang cukup tentu memudahkan sirkulasi udara sehingga ruangan menjadi tidak pengap. Pemakaian material-material lokal juga dapat menambah nilai green dalam suatu bangunan karena tentu biaya distribusi ke lokasi pembangunan akan menjadi jauh lebih murah dan hal ini berdampak pada konsumsi bahan bakar kendaraan yang juga dapat diminimalisir.

Tapi ada satu hal yang cukup menarik yang pernah saya dengar dari dosenku saat ia sedang mengajar. Ia adalah salah seorang arsitek yang cukup diperhitungkan di Bali. Ia pernah berkata mengapa pemakaian material lokal sangat penting karena tiap material diciptakan memiliki karakteristik berbeda pada setiap daerah dan karakteristik tersebut diciptakan untuk mampu bertahan dengan kondisi daerah tersebut. Yang berarti bila Bali memiliki bata merah yang terkenal bisa dipastikan bahwa bata merah tersebut memang cocok untuk digunakan di iklim dan cuaca di Bali. Apa yang bisa kita pelajari dari hal ini? Sangat sederhana namun berarti bahwa Tuhan menciptakan alam beserta isinya untuk digunakan manusia dan kesemuanya itu besar atau kecil memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia sendiri. Jadi masihkah kita mau merusak bumi tempat tinggal kita ini?

Hal yang juga cukup sulit untuk kami para arsitek dan desainer interior lakukan adalah merubah pola pikir masyarakat yang terlanjur mencap bangunan green adalah bangunan mahal. Karena menurut pandangan mereka bangunan green pastilah memakai peralatan-peralatan yang mahal seperti solar panel dan lain-lain yang pasti tidak murah harga dan pemasangannya, padahal solar panel sendiri dapat mengkonversi panas matahari menjadi listrik yang tentu dapat mengurangi biaya untuk pemakaian listrik. Selanjutnya, dalam industri arsitektur saat ini sangat gencar untuk mempromosikan bambu sebagai material alternatif untuk berbagai elemen arsitektur baik untuk dinding, rangka atap, lantai maupun furniture karena setelah diteliti bambu ternyata memiliki masa tumbuh yang cenderung lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan lain. Sehingga untuk mendapat bambu yang berkualitas baik hanya diperlukan waktu 3-5 tahun. Dan tentunya hal ini didukung dengan potensi Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil bambu di Indonesia. Namun sangat disayangkan bahwa masih ada anggapan di masyarakat bahwa bambu adalah "Timber for the poor" (Kayu untuk si Miskin). Pola pikir dan paradigma seperti inilah yang harus dirubah oleh kami para arsitek dan desainer interior.



Kami para arsitek sadar bahwa kami mempunyai tanggung jawab moral untuk mengenalkan pentingnya green design. Dan setelah bertahun-tahun mencoba mengenalkan hal tersebut, melalui seminar, sayembara dan buku-buku kami cukup senang karena pada akhirnya animo masyarakat akan pentingnya green design cukup baik. Banyak masyarakat yang merespon positif saat rumahnya dirancang dengan konsep green. Karena selain dapat menghemat energi, konsep ini juga dapat membuat suasana rumah menjadi lebih adem dan nyaman. Dan trend green design ini tidak hanya berrlaku untuk bangunan rumah saja, namun juga merambah untuk bangunan komersil seperti villa, kantor maupun sekolah. Respon positif ini yang membuat kami bertekad untuk terus memperkenalkan kepada khalayak luas akan pentingnya sebuah tindakan nyata demi menyelamatkan bumi tercinta.


Mengingat hal ini aku kembali teringat dengan salah satu organisasi bernama Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Kami harap kami mampu membawa perubahan untuk kebaikan lingkungan dengan ilmu yang kami miliki. Sehingga setiap orang mampu menyadari bahwa setiap perbuatan meskipun kecil sangat berarti demi mengubah dunia menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar