Pages

Seperti Dia





Koridor rumah sakit bernuansa putih ini begitu lengang. Tak banyak pengunjung yang datang, yang terlihat hanya perawat yang sesekali lewat. Padahal biasanya jam – jam seperti ini rumah sakit begitu ramai kedatangan orang – orang yang hendak berkunjung. Sepertinya terik matahari di siang ini mampu meredam hasrat manusia untuk pergi keluar. Termasuk juga dengan diriku. 

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 tapi aku masih juga enggan pergi dari rumah sakit ini. Seharusnya saat ini aku sudah ada di rumah untuk menemui ayahku yang katanya kangen makan siang bersama denganku. Namun, apa daya pekerjaanku sebagai seorang dokter memaksaku harus tetap di rumah sakit sampai urusanku dengan pasien selesai. Ditambah dengan panas yang begitu menyengat menambah keenggananku untuk pulang ke rumah.

Kulangkahkan kakiku dengan berat hati dan desahan keluhan seketika meluncur dari mulutku. Namun perhatianku segera teralihkan pada sekumpulan kuli bangunan yang sedang bekerja untuk renovasi rumah ini. Mataku segera tertuju pada seorang lelaki tua berkulit gelap dan berbaju lusuh, tampak ia sesekali menyeka keringat yang membanjiri wajahnya. Ia tampak sangat kelelahan. Sosok lelaki tua itu membawaku pada bayangan tentang ayahku.
***
“Ini motor buat kamu supaya enggak capek kalo mau ke sekolah”  Sebuah sepeda motor berwarna hitam pemberian ayahku saat SMA, hasil kerja kerasnya selama ini agar aku tidak kelelahan saat berangkat dan pulang ke sekolah. Padahal ia sediri rela mengayuh puluhan kilometer tiap harinya demi menafkahi aku dan ibuku.

“Bapak mau cari uang yang banyak buat kamu,biar kamu bisa jadi sarjana..”  Perkataan ayahku kembali terngiang. Tampak senyuman menghiasi wajahnya yang semakin menghitam akibat terlalu sering terkena matahari. Sebaris kalimat sederhana itu merupakan motivasi terbesarku untuk belajar sekeras mungkin untuk mewujudkan cita – cita ayah. 

“Bapak udah biasa hidup susah,kamu enggak usah mikirin bapak yang penting kamu kuliah yang bener”  Itu kalimat yang terucap dari ayahku saat kukatakan aku ingin bekerja untuk membantu ia mencari nafkah, karena aku tak tega melihatnya tubuhnya semakin renta dimakan usia. Ucapan pelan ayahku itu menjadi pacuanku untuk bekerja sekeras mungkin untuk mendapat rupiah demi rupiah agar bisa menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga.

“Dokter itu pekerjaan yang mulia. Bayangkan berapa banyak nyawa yang sudah ia bantu untuk tetap dapat bertahan hidup”  Esoknya setelah mendengar kalimat itu aku membulatkan tekadku untuk mengambil sekolah kedokteran selepas lulus SMA. Ayahku boleh jadi hanya seorang tukang tapi aku akan menjadi seorang dokter yang hebat yang mampu membanggakan kedua orang tuaku.

“Kamu ini perempuan! Perempuan itu cocoknya jadi perawat bukan jadi dokter” Masih teringat di benakku bagaimana ayahku yang masih memiliki pemikiran konservatif akan perbedaan gender melarangku untuk menjadi dokter. Atau karena khawatir tidak sanggup membiayai kuliah kedokteranku yang membutuhkan uang selangit. Entahlah, namun aku tidak pernah berubah pikiran dan ayahku pun mau tak mau merelakan putrinya untuk masuk sekolah kedokteran. 

“Gundulmu itu! Masa’ kayak gini aja kamu enggak bisa jawab...”  Hardik ayahku saat aku salah menjawab soal darinya. Sudah menjadi kebiasaan menjelang ujian aku akan meminta ayahku membantuku untuk memberikan pertanyaan – pertanyaan yang ada di buku catatanku agar aku siap menghadapi ujian. Namun, kebiasaannya memarahi anak buahnya terbawa sampai ke rumah. Mungkin ia menganggapku sebagai anak buahnya yang tidak becus. Aku saja yang jelas – jelas anak kandungnya dimarahi seperti itu bagaimana dengan tukang – tukang bawahannya? Aku tersenyum geli membayangkannya.

“Ini kan baru awal, jadi dosenmu itu ngasik pelajarannya yang gampang – gampang. Nanti di semester selanjutnya baru kamu ngerasain susahnya.”  Kata ayahku datar saat kuberi tahu bahwa aku mendapat ipk sempurna untuk semester pertamaku saat kuliah. Tapi bisa kulihat binaran matanya saat kuberi tahu akan hal itu. Mata tidak pernah bisa berbohong.

“Bagus...”  Kata ayahku singkat. Tak ada lagi kata – kata keluar dari mulutnya selain itu. Dia hanya memandangiku sejenak. Sebuah pandangan yang dapat kuartikan dia sangat bahagia dan bangga. Bahagia karena cita – citanya agar anaknya menjadi sarjana sudah terlaksana. Berkat kerja kerasnya, berkat bulir – bulir keringatnya ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga tamat. Bangga karena anak perempuan satu – satunya yang ia larang menjadi dokter akhirnya dapat membuktikan bahwa ia berhasil mengalahkan teman – teman laki – lakinya untuk menjadi mahasiswa terbaik. Hanya pandangan mata tanpa kata – kata.

“Sekarang kamu sudah jadi dokter terus bisa cari uang sendiri, jangan lupa sedekah”  Kata ayahku suatu hari sebelum aku berangkat kerja. Tentu saja semenjak itu aku tidak pernah lupa menyisihkan sebagian pendapatanku untuk kuberikan kepada orang – orang yang tidak mampu seperti yang biasa ayahku lakukan. Ayahku hanya seorang tukang tapi ia selalu berbagi kebahagiaan dengan tetangga dan teman – temannya yang kurang mampu. Bahkan ia bisa menghidupi aku dan keluargaku bahkan menghidupi sepupuku yang terlahir yatim piatu. Aku bangga pada ayahku.

“Pekerjaan apapun itu yang penting harus dilandasi kejujuran, supaya membawa berkah. Walaupun dapat uang banyak tapi kalau tidak halal suatu saat pasti bakal bawa bencana ke kita” Rentetan kalimat itu sangat sering diucapkan ayahku. Mengingatkanku bahwa selama ini walau ayahku hanya seorang kuli yang bergaji kecil tapi uang yang didapatkannya adalah halal buah kejujurannya. Tanpa sadar mungkin kejujurannya itu yang membuat keluargaku selalu bahagia dalam kesederhanaan, selalu tersenyum walau badai penderitaan menerpa.

Ayahku memang hanya seorang tukang bangunan, tapi ia menghasilkan uang bukan dari menipu orang tapi dari membanting tulang. Ia menghidupi anak dan istri bukan dari hasil korupsi tapi dari keringat sendiri. Ia tidak menggunakan jas dan kemeja rapi hanya kaus lusuh yang sering terkena sinar matahari. Kulitnya semakin menghitam namun hati dan jiwanya semakin jernih. Ia bekerja tidak menggunakan mobil hanya mengayuh sepeda setiap hari, tapi ia membawa kebahagiaan dalam hidup kami.
***
Aku tersadar dari lamunanku dan teringat akan sosok yang saat ini sedang menantiku di rumah. Aku teringat bagaimana semua yang aku lakukan selama ini demi dirinya. Demi membuatnya tersenyum penuh kebanggaan kepadaku. Dan demi menjadi seseorang yang begitu hebat dan kuat seperti dia. Dia seseorang yang kusayang yang menjadi panutanku selama ini. Menjadi seperti dia. Seperti ayahku. Kupercepat langkahku dan aku tak sabar untuk segera pulang menemui ayahku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar