“Every big thing, always begin in one little step”
Kenaikan
suhu bumi yang terus meningkat tiap tahunnya menjadi isu yang hangat
diperbincangkan beberapa tahun terakhir. Hampir semua kalangan turut
menaruh perhatian terhadap masalah ini karena dampak dari perubahan iklim
sendiri telah dirasakan oleh semua umat manusia di seluruh belahan bumi. Para praktisi dari tiap
disiplin ilmu berupaya ikut serta untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan
lingkungan yang tiap tahun makin bertambah parah.
Sebagai
salah seorang mahasiswa arsitektur yang tinggal di Bali, saya turut merasakan
perubahan akibat global warming. Salah satunya adalah siklus musim hujan dan
kemarau yang semakin tak dapat di prediksi. Suhu udara yang semakin menyiksa
terutama di siang hari dan semakin sulitnya mencari air bersih di Bali. Dengan
permasalahan pelik seperti ini saya pikir persoalan kerusakan lingkungan tidak
dapat dilemparkan begitu saja kepada pemerintah saja atau instansi maupun
organisasi tertentu. Setiap orang, masing-masing
individu berkewajiban turut serta untuk mencari solusi bersama atas persoalan
ini. Karena bumi yang kita pijak, tempat kita tinggal adalah milik kita
bersama, rumah kita bersama dan harus kita jaga bersama.
Kesadaran
inilah yang membuat kami para arsitek, desainer interior dan calon-calon
penerusnya mencoba ikut berupaya dengan ilmu yang kami punya untuk mencegah
kerusakan bumi menjadi lebih parah lagi. Karena kami sadar hasil karya kami
yang berupa bangunan dan industri yang terkait, turut menyumbang limbah dan
emisi yang cukup besar tiap tahunnya. Dan ternyata penyumbang
terbesar pemanasan global adalah emisi CO2 dari industri. Industri yang boleh dikatakan berperan
paling besar untuk menyumbang gas CO2 adalah industri semen dan
baja. Dari data yang pernah kubaca, untuk 3 milyar
ton/tahun produksi semen dunia, sekurang-kurangnya ada 1,8 milyar CO2
menguap ke atmosfir. Tentu angka tersebut dapat meningkat pesat tiap
tahunnya dengan pertumbuhan industri bangunan yang juga terus bertambah.
Dan kami sebagai aktor yang menentukan jumlah semen
maupun baja yang digunakan untuk tiap bangunan tentu harus berpikir dua kali
untuk menggunakan kedua bahan tersebut. Oleh karenanya kami berupaya
menekan sebisa mungkin pemakaian kedua bahan tersebut dan mencoba menggantinya
dengan berbagai alternatif bahan lain yang lebih ramah lingkungan.
Para arsitek yang terbilang sangat peduli dengan hal ini seperti Lim Yu Sing
dan Ahmad Djuhara terlihat sangat sering menggunakan material-material lokal
untuk karya-karya mereka. Bambu, kayu bekas dari bantalan kereta api maupun
dari proyek diubah sedemikian rupa oleh mereka menjadi lebih menarik dan
tentunya membuat tampilan bangunan menjadi lebih atraktif serta terlihat
berbeda.
Sebenarnya untuk mewujudkan bangunan yang ramah
lingkungan tidaklah terlalu sulit dan justru bisa dikatakan murah dan relatif
mudah dikerjakan. Bangunan yang dikatakan bangunan green adalah bangunan
yang dapat meminimalisir dampak-dampak negatif pembangunannya ke lingkungan
sekitar. Dan tentunya mampu mengadaptasi kondisi lingkungan ke dalam bangunan.
Contohnya, Indonesia yang beriklim tropis yang memiliki curah hujan dan panas
yang cukup tinggi tentu membutuhkan rumah dengan atap miring dan bukaan yang
cukup sehingga air hujan tidak merembes sampai ke dalam dan bukaan yang cukup
tentu memudahkan sirkulasi udara sehingga ruangan menjadi tidak pengap. Pemakaian material-material lokal juga dapat menambah nilai green
dalam suatu bangunan karena tentu biaya distribusi ke lokasi pembangunan akan
menjadi jauh lebih murah dan hal ini berdampak pada konsumsi bahan bakar kendaraan yang
juga dapat diminimalisir.
Tapi ada satu hal yang cukup menarik yang pernah saya
dengar dari dosenku saat ia sedang mengajar. Ia adalah salah seorang arsitek
yang cukup diperhitungkan di Bali. Ia pernah berkata mengapa
pemakaian material lokal sangat penting karena tiap material diciptakan
memiliki karakteristik berbeda pada setiap daerah dan karakteristik tersebut
diciptakan untuk mampu bertahan dengan kondisi daerah tersebut. Yang
berarti bila Bali memiliki bata merah yang terkenal bisa dipastikan bahwa bata
merah tersebut memang cocok untuk digunakan di iklim dan cuaca di Bali. Apa
yang bisa kita pelajari dari hal ini? Sangat sederhana namun berarti bahwa Tuhan menciptakan alam beserta isinya untuk digunakan manusia
dan kesemuanya itu besar atau kecil memiliki tujuan untuk kebaikan umat manusia
sendiri. Jadi masihkah kita mau merusak bumi tempat tinggal kita
ini?
Hal yang juga cukup sulit untuk kami para arsitek dan
desainer interior lakukan adalah merubah pola pikir masyarakat yang terlanjur
mencap bangunan green adalah bangunan mahal. Karena menurut
pandangan mereka bangunan green pastilah memakai peralatan-peralatan yang mahal
seperti solar panel dan lain-lain yang pasti tidak murah harga dan
pemasangannya, padahal solar panel sendiri dapat mengkonversi panas matahari menjadi
listrik yang tentu dapat mengurangi biaya untuk pemakaian listrik. Selanjutnya, dalam
industri arsitektur saat ini sangat gencar untuk mempromosikan bambu sebagai
material alternatif untuk berbagai elemen arsitektur baik untuk dinding, rangka
atap, lantai maupun furniture karena setelah diteliti bambu ternyata memiliki
masa tumbuh yang cenderung lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan lain.
Sehingga untuk mendapat bambu yang berkualitas baik hanya diperlukan waktu 3-5
tahun. Dan tentunya hal ini didukung dengan potensi Indonesia yang merupakan
salah satu negara penghasil bambu di Indonesia. Namun sangat disayangkan bahwa
masih ada anggapan di masyarakat bahwa bambu adalah "Timber
for the poor" (Kayu untuk si Miskin). Pola pikir dan paradigma seperti
inilah yang harus dirubah oleh kami para arsitek dan desainer interior.
Kami para arsitek sadar bahwa kami mempunyai tanggung
jawab moral untuk mengenalkan pentingnya green design. Dan setelah
bertahun-tahun mencoba mengenalkan hal tersebut, melalui seminar, sayembara dan
buku-buku kami cukup senang karena pada akhirnya animo masyarakat akan
pentingnya green design cukup baik. Banyak masyarakat yang merespon
positif saat rumahnya dirancang dengan konsep green. Karena selain dapat
menghemat energi, konsep ini juga dapat membuat suasana rumah menjadi lebih
adem dan nyaman. Dan trend green design ini tidak hanya berrlaku untuk
bangunan rumah saja, namun juga merambah untuk bangunan komersil seperti villa,
kantor maupun sekolah. Respon positif ini yang membuat kami bertekad untuk terus
memperkenalkan kepada khalayak luas akan pentingnya sebuah tindakan nyata demi
menyelamatkan bumi tercinta.
Mengingat
hal ini aku kembali teringat dengan salah satu organisasi bernama Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi
yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global
untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat
kemiskinan. Kami harap kami mampu membawa perubahan untuk kebaikan
lingkungan dengan ilmu yang kami miliki. Sehingga setiap orang mampu menyadari
bahwa setiap perbuatan meskipun kecil sangat berarti demi mengubah dunia
menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar