Seorang anak berjalan pulang ke rumahnya.
Ia berjalan dengan langkah gontai menyusuri setiap tapak
menuju gubuk kecilnya.
Dalam pikirannya ia bingung bukan kepalang,
Sebuah pertanyaan mampir ke otaknya tak mau disuruh pulang.
Guru sekolahnya memberikan sebuah pertanyaan.
Kecil, remeh tapi membingungkan.
Apa guna pendidikan?
Sampai rumah ia lihat ibunya,
Ia hampiri dan ingin bertanya,
Tapi urung ia lakukan.
Ibunya hanya tamatan SD, hanya bisa hitung-hitungan sampai
penjumlahan dan pengurangan.
Perkalian dan pembagian tak bisa ia lakukan.
Tapi ia manggut-manggut,
Ibunya tak perlu belajar rumus phytagoras untuk menghitung
uang bulanan dari ayahnya yang berjumlah ribuan.
Maka ia keluar lagi mencari jawaban.
Seorang tukang becak datang menghampiri.
Itu Bang Udin tetangga sebelah rumahnya.
Ia geleng-geleng kepala lagi.
Bang Udin hanya lulusan SMP, ia bisa hitung-hitungan
phytagoras, sedikit rumus fisika dan tahu organ reproduksi dari pelajaran
biologi.
Tapi sekarang ia tak perlu semua itu, yang ia perlu hanya
sepuluh ribuan dari penumpangnya.
Ia bertemu Kak Damar,
Satu-satunya sarjana di desanya.
Kak Damar katanya lulusan perguruan tinggi ternama di
Jakarta.
Katanya juga ia lulusan cum laude, entah apa pun itu
maksudnya.
Ia hendak berlari, bertanya pada orang yang menurutnya pasti
mengerti.
Tapi langkahnya terhenti.
Sudah setahun Kak Damar diam di rumahnya.
Ia tak mau lagi ke kota, tak mau bekerja.
Bukan, bukan tak mau bekerja.
Kata Kak Damar tak ada pekerjaan yang cocok baginya.
Ia lulusan cum laude PTN ternama, tapi perusahaan di kota
menggajinya sama dengan seniornya yang hanya lulusan SMA.
Lulusan SMA itu katanya lebih dulu bekerja.
Karenanya Kak Damar mau lanjut S2 supaya gajinya bisa lebih
tinggi dari sarjana strata pertama.
Lelah berjalan, ia kehausan.
Ia pergi ke warung langganan.
Ada Kak Siti si kembang desa sebelah.
Sudah cantik pintar pula, katanya Kak Siti jadi mahasiswa
fakultas sastra.
Karenanya ia mau bertanya padanya.
Tapi belum sempat bertanya datanglah Bang Dinan, anak si
tuan tanah.
Bang Dinan hanya tamatan SMA, tak mau lanjut karena hidupnya
sudah pasti enak.
Enak dari harta warisan bapaknya.
Dan Kak Siti yang cantik akan jadi istri anak tuan tanah.
Ia hanya manggut-manggut.
Mengerti mengapa Kak Siti mau kepada Bang Dinan.
Bang Dinan memang tak begitu banyak mengenyam pendidikan,
tapi jelas ia lebih banyak harta warisan.
Ia pun pergi tak jadi bertanya pada Kak Siti.
Kembali ia bertemu seorang berpakaian putih-putih.
Bukan pocong tapi seorang dokter cantik yang wangi bunga
melati.
Bu Sarah, baru lulus kuliah dan ditugaskan di puskesmas
desa.
Ia tersenyum, kali ini ia pasti tak salah.
Ia hendak menanyakan hal yang sedari tadi mengganggunya.
Tapi ia malah bertanya,
Dok, dulu bu dokter cita-citanya jadi apa?
Si dokter cantik diam sejenak, berpikir lama.
Ia pun menjawab, jadi guru, kenapa?
Anak itu mengernyit tak mengerti.
Ia pun melihat bu dokter dengan teliti.
Gelang mahal melingkar di tangannya.
Cincin berlian menghiasi jemarinya.
Lipstik merah merona mempercantik bibirnya.
Anak itu lantas pergi.
Ia mengerti mengapa bu dokter memilih jadi dokter.
Karena gaji guru tak kan bisa membeli semua kemewahan itu.
Anak itu kini kembali pulang.
Ia duduk termenung di tepi jendela.
Tangannya memegang pensil.
Tapi ia masih bingung hendak menuliskan apa di buku PR nya.
Sudah banyak orang yang ia temui,
Tapi tak kunjung ia temukan jawaban.
Mungkin jawabannya sederhana, tapi ia masih ragu menuliskan.
Tapi ini kenyataan.
Dan sebuah kenyataan tak bisa disembunyikan.
Akhirnya dengan ragu-ragu ia pun menulis,
Menurut saya guna pendidikan adalah supaya bisa kerja dan
dapat uang.
Denpasar, 2 Mei 2014
Potret nyata pendidikan di Indonesia,
Selamat Hari Pendidikan
Ima T.Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar