Beberapa puluh
tahun silam di Jepara lahir seorang wanita muda nan cerdas yang ketika ia
dewasa menjadi pelopor pergerakan emansipasi wanita di Indonesia. Dari surat –
suratnya yang dibukukan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” berisi
pemikiran – pemikirannya mengenai hak asasi kaum wanita di zamannya yang masih
terkekang. Mungkin R.A Katini belum sadar bahwa puluhan tahun setelah ia menulis
surat – surat tersebut hak asasi kaumnya yang ia perjuangkan malah menjadi
“boomerang” untuk kaum wanita itu sendiri.
Puluhan tahun
sejak surat – surat itu ditulis,saat dimana kaum wanita sudah berhak mendapat
hak yang sama dengan kaum laki – laki, terdapat distorsi antara emansipasi yang
dimaksud dan diperjuangkan puluhan tahun silam dengan emansipasi yang didapat
oleh kaum wanita sekarang. Apa sebenarnya emansipasi tersebut? Bila merujuk
dari sejarah perjuangan emansipasi di Indonesia khusunya yang diperjuangkan
oleh R.A Kartini maka emansipasi tersebut adalah hak untuk mendapat penghidupan
dan kesempatan yang layak dan sama seperti yang didapat oleh kaum lelaki.
Khususnya dalam pendidikan dan pekerjaan. Namun bila melihat keadaan kaum
wanita saat ini,apakah emansipasi tersebut benar – benar sudah didapat atau
didapat secara “berlebihan”?
Beberapa waktu
yang lalu di sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta
mengundang seorang wanita yang menjadi ketua dari sebuah kelompok bernama Persatuan
Istri
Taat Suami. Si wanita tersebut diundang karena kelompok yang
diketuainya mengundang reaksi yang buruk dari sejumlah pihak terutama mereka
yang menamai dirinya kaum feminisme. Kelompok Persatuan Istri Taat Suami tersebut
dinilai telah merendahkan kaum wanita karena seolah – olah seorang istri harus
selalu mengalah dan menempatkan diri mereka di bawah suami. Tujuan
kelompok ini pun dipertanyakan oleh para penghujat.
Beragam
pertanyaan muncul di benak saya. Apa salahnya seorang istri bila taat pada
suaminya? Bukankah memang seharusnya seorang istri mengabdikan hidupnya
untuk suami dan juga keluarganya? Bukan berarti dalam hal ini sang istri tidak
mendapatkan kebebasan untuk melakukan hal – hal di luar dari pekerjaannya
sebagai ibu rumah tangga,namun bukankah lebih baik jika apa yang dikerjakan
oleh sang istri di luar rumah tetap memperhatikan kebutuhan suami dan juga anak
– anaknya?
Kewajiban
seorang istri adalah mengurus rumah tangga dan mendidik anak – anaknya. Sebuah
tujuan yang mulia bukan? Namun yang kita lihat sekarang sungguh jauh
berbeda,dengan modal kata emansipasi banyak wanita yang justru lebih senang
menghabiskan waktunya di luar rumah atau di kantor. Bekerja sepanjang hari
bahkan sampai lembur pun dilakoninya tanpa beban. Memang merupakan hal yang
baik jika seorang istri membantu suaminya mencari nafkah. Namun yang harus
digarisbawahi disini adalah seorang istri hanya membantu bukan menggantikan
peran suami mencari nafkah bahkan menjadi kepala keluarga. Dapat dipahami bila
sang suami menderita penyakit sehingga sang istri mau tidak mau menggantikan
peran suami mencari nafkah. Namun yang terjadi saat ini adalah banyak
para suami yang sepertinya tidak berkutik melihat istrinya bekerja sepanjang
malam atau bepergian keluar kota dengan alasan pekerjaan.
Dari pengalaman
beberapa teman saya yang sudah menikah,nampaknya suami segan melarang istrinya
begini begitu dikarenakan penghasilan sang istri yang lebih besar dari si suami.
Dan dengan penghasilan yang lebih besar si istri merasa lebih berkuasa sehingga
mengganggap kecil peran si suami. Sehingga ia bisa seenaknya pulang pergi tanpa
seizin suami dan yang lebih parah menelantarkan sang suami juga anak – anaknya.
Jadi jangan heran bila saat ini ada perkumpulan bagi laki – laki yang menjadi
“korban” dari istrinya,mereka menamakan diri mereka Suami – Suami Takut Istri.
Memiliki seorang
wanita mandiri nan tangguh serta berprestasi untuk dijadikan istri pasti
merupakan idaman bagi setiap laki – laki. Suatu kebanggan bagi mereka bila
mendapat istri yang memiliki kriteria tersebut. Namun bila semua kelebihan
tersebut nantinya justru membuat mereka “minder” bahkan merendahkan ego serta
harga diri mereka masih inginkah mereka mempunyai istri yang demikian? Sehebat
apa pun sang istri,sepintar apa pun mereka seorang lelaki pastinya menginginkan
saat menikah nanti sang istri mampu melayaninya dan berperan sebagai partner
dalam membina rumah tangga mereka. Bukannya hanya mencari kepuasan
pribadi serta mementingkan aktualisasi dirinya saja.
Fenomena ini
seharusnya membuka mata kita bahwa tidak seharusnya emansipasi dijadikan alasan
bagi seorang wanita khususnya yang sudah berumah tangga untuk melupakan kodrat
serta kewajibannya. Gerakan sebagian kalangan wanita yang selalu menginginkan
adanya kebebasan kaumnya untuk mendapat hak yang sama dengan laki – laki
tidaklah buruk bahkan patut diacungi jempol,namun wanita – tetaplah wanita.
Kita tetap membutuhkan peran laki – laki untuk melengkapi kehidupan kita. Kita
dianjurkan bersikap kuat dan mandiri namun jangan bersikap seolah – olah tidak
perlu kehadiran lelaki. Wanita dan laki – laki berbeda dan tidak akan pernah
sama karena keduanya memiliki peran serta tugas yang berbeda pula. Keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing oleh karenanya haruslah
saling melengkapi dalam sebuah ikatan pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar