Dulu saya punya
seorang teman yang pintar dalam bidang akademis. Dia lulusan dari sekolah
swasta yang cukup terkenal di Bali. Dan bukan hanya itu, dia juga mengikuti les
di sejumlah tempat. Jadi sebenarnya wajar saja jika dia pintar dan selalu
langganan menjadi juara kelas. Tapi pada suatu hari saat pembagian rapor, tanpa
diduga ranking anak ini turun drastis bahkan dia tidak menduduki ranking 3
besar. Semua teman termasuk saya cukup kaget menerima hasil tersebut. Akhirnya
saat jam berakhir, kami semua bergegas untuk segera pulang. Tapi karena ada
urusan lain akhirnya saya pulang terlambat. Saat saya hendak pulang dimana
keadaan sekolah saat itu sudah lumayan sepi, saya masih melihat teman saya yang
pintar tersebut belum pulang. Karena penasaran saya segera menghampirinya.
Sebelum saya bertanya dia terlebih dahulu mengatakan “Ma, aku takut
lho pulang. Pasti orang tuaku marah sekali liat hasil raporku. Mereka pengennya
aku juara terus”. Katanya dengan muka ketakutan. Berhubung saya adalah seorang
yang memiliki kemampuan otak yang terbatas dan di bawah rata – rata saya hanya
terdiam dan ber ah oh ria saja.
Sampai sekarang
saya masih tidak bisa melupakan perkataan teman saya itu. Ternyata di balik
semua kepintaran yang dia tunjukkan dan semua keaktifan dia mengikuti les di
sana sini rupanya ada ketertekanan dalam hatinya. Memang di sinetron – sinetron
atau acara TV saya melihat banyak kejadian serupa tentang bagaimana seorang anak
dituntut oleh orang tuanya untuk selalu menjadi juara sampai membuat si anak
tersebut tertekan. Namun saya tidak pernah menganggap bahwa hal tersebut benar
– benar ada seada adanya sampai saya mendengar langsung dari teman saya
tersebut. Karena di keluarga saya sendiri orang tua saya tidak pernah menuntut
hasil apa – apa dari nilai akademis saya. Bahkan mengomentari nilai – nilai di
rapor saya saja sangatlah jarang. Jadi saya tidak bisa membayangkan bagaimana
rasanya berada di bawah tekanan orang tua yang selalu mengharapkan hasil
sempurna dari si anak.
Yang namanya
orang tua pastilah menginginkan anaknya menjadi seorang anak yang pandai dan
berprestasi. Wajar bila terkadang orang tua menuntut si anak untuk giat belajar
bahkan mengikutsertakan si anak untuk les di berbagai tempat demi menunjang
nilai akademis sang anak. Namun, menurut saya tidaklah adil rasanya bila si
anak dituntut sedemikian rupa tanpa melihat kondisi psikologis anak bahkan
hingga membuat si anak tertekan. Percayalah, melakukan apa pun dalam kondisi
tertekan tidak akan memberikan hasil yang optimal, justru menambah rasa
pesimistis dan perasaan terbebani di dalam diri sang anak. Itu
hanyalah salah satu dari kasus – kasus yang ada.
Selain kasus di
atas ada beberapa contoh kejadian lain yang masih banyak terjadi saat ini.
Kasus yang paling sering adalah dimana sang orang tua senang membandingkan
anaknya dengan anak orang lain yang lebih hebat misalnya dalam bidang akademis.
Bukan
itu saja ada pula sebagian orang tua yang memaksa anaknya menjadi sesuatu yang
sebenarnya tidak diinginkan oleh si anak itu sendiri. Memang ada sebagian orang tua
yang berpendapat bahwa trik membanding – bandingkan ini dapat memacu motivasi
si anak dalam belajar. Tapi terkadang justru trik ini dapat membahayakan
psikologis si anak itu sendiri karena dapat membuat mental si anak jatuh dan
merasa dirinya tidaklah berharga serta rendah diri di mata orang tuanya. Dan
memaksa anak menjadi orang lain bukanlah suatu hal yang bijaksana. Karena pada
dasarnya setiap anak terlahir jenius dalam suatu hal. Jadi bila anak anda
tidaklah mahir dalam hal akademis mungkin dia berbakat dalam bidang lainnya,
olahraga misalnya. Bahkan mungkin dia bukannya tidak berbakat atau pintar,
hanya saja belum menemukan cara belajar yang tepat untuk menemukan bakat di
dalam dirinya sendiri.
Orang tua
memanglah orang yang memiliki tanggung jawab besar dalam perkembangan sang
anak. Tak masalah bila sang orang tua mengarahkan atau berharap kepada sang
anak untuk menjalani atau melakoni profesi tertentu nantinya. Tapi haruslah
diingat bahwa sang anak juga merupakan makhluk individual yang memiliki hak
sendiri untuk menentukan profesi dan nasibnya sendiri. Justru harusnya kitalah
sebagai orang tua yang membantu mereka untuk menemukan cara belajar yang mampu
mengeluarkan bakat – bakat yang ada di dalam diri mereka.
Saya
percaya, setiap anak terlahir sebagai seorang bintang. Dan kita sebagai orang
tua berperan sebagai sang awan. Kitalah
yang memutuskan apakah akan membiarkan sang anak bersinar atau justru menutupi
sinar mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar