Kemarin malam
seperti biasa, ayah dan kakakku ikut pengajian untuk bapak-bapak di salah satu
rumah tetangga. Tapi hingga jam sembilan lewat ayahku belum pulang juga. Padahal
biasanya, jam sembilan ayahku sudah berada di rumah. Sampai akhirnya jam
menunjukkan pukul setengah sepuluh, baru terdengar suara motor kakakku memasuki
halaman rumah. Sampai di dalam rumah, ibuku yang penasaran langsung bertanya
pada bapakku kenapa baru pulang jam segini. Sambil menghempaskan tubuhnya ke
sofa ayahku menjawab, “Biasa... Udah mau pemilu...”
Mendengar jawaban
ayahku ibuku langsung paham maksudnya,
“Jadi siapa yang
kampanye tadi?”. Ayahku pun menjawab bahwa yang melakukan kampanye terselubung di
tengah-tengah perkumpulan bapak-bapak pengajian tadi adalah partai *...* (eh
boleh ga’ sih nyebut nama partai di blog?). Lalu ibuku bertanya lagi,
“Bawa apa?”. Nah
pertanyaan ibuku ini mengandung pesan yang dalam.
Jadi meskipun
banyak sekali kampanye yang tidak memperbolehkan politik uang, tapi
kenyataannya hal tersebut masih saja terjadi. Sudah rahasia umum, jika semua
partai hampir pasti melakukannya. Pun partai tersebut mati-matian menyuarakan
anti politik uang, tapi caleg mereka belum tentu melaksanakannya. Dan di tengah
maraknya kampanye para caleg yang berebut kekuasaan saat ini, politik uang
makin gencar di lakukan. Paling terbaru, di rumahku baru saja diadakan
bagi-bagi sembako gratis oleh salah satu caleg. Sepertinya caleg ini
benar-benar pintar. Karena ia tahu bahwa politik uang itu dilarang, maka ia pun
tidak membagi-bagikan uang melainkan sembako. Pada intinya sih sama saja, tapi
secara psikologis hal ini bisa berdampak lain terutama di mata masyarakat yang
menerima. Jika membagi-bagikan uang secara langsung, nilai caleg tersebut akan
runtuh seketika. Terlihat sekali ia haus kekuasaan dan tidak memiliki modal
lain selain uangnya. Kebusukannya langsung terendus. Tapi berbeda dengan
bagi-bagi sembako.
Seperti yang
caleg ini lakukan, ia membagi-bagikan sembako setelah sebelumnya meminta
identitas penduduk. Tidak semua penduduk tapi hanya penduduk yang masuk dalam
daftar pemilih tetap. Mereka diminta untuk mengisi formulir dan diberi kartu
berisi foto dan nomor caleg tersebut. Tujuannya memang langsung terlihat jelas,
tapi dengan pintarnya dalam formulir tersebut dikatakan bahwa jika kami
memilihnya dan ia menang, maka ia menjanjikan pengobatan gratis bagi pemegang
kartu yang ia berikan tadi. Ia juga berjanji akan membagi-bagikan sembako. Kebanyakan
tetanggaku senang sekali, entah apa nanti mereka akan benar-benar memilih caleg
tersebut atau tidak aku tidak tahu. Yang jelas, mereka langsung mengisi
formulir tersebut. Dan meskipun kita tahu tujuannya melakukan itu agar ia
dipilih tapi imagenya di mata masyarakat meningkat. Setidaknya ia terlihat lebih
peduli kepada masyarakat dan tidak hanya sekedar janji.
Tak berapa lama
kami yang telah mengumpulkan formulir itu dikumpulkan di rumah koordinator
caleg tersebut. Di sana kami menunggu giliran untuk mendapat sembako gratis. Isinya
lumayan, ada beras sekilo, minyak setengah liter dan lima mie instan. Sisanya aku
tidak tahu. Ibuku sih senang-senang saja, pulang-pulang ia membawa banyak
sekali sembako. Melihatnya begitu aku hanya bilang,
“Itu kalo dia ga’
menang, sembakonya mesti dibalikin lho!”
Lalu ibuku hanya
menjawab, “Ya, ga’ ada hubungannya lah!”.
Aku jadi
bingung, ini ibuku yang terlalu polos apa dia hanya memanfaatkan kebaikan si
caleg untuk dapat sembako?
Kembali lagi ke
masalah pengajian. Bapakku bilang kali ini si caleg ga’ bawa apa-apa. Ibuku langsung
berkomentar,
“Hari gini mana
ada yang mau milih kalo ga’ dikasih apa-apa.” Heehh... Kalo aku sih biar
dikasih apa pun tetep aja ga’ mau milih. Karena kalo si caleg udah berani
ngasih-ngasih sesuatu termasuk sembako kayak tadi, itu menandakan ia ga’ pede
ama kemampuannya. Kalo emang dia caleg yang baek ga’ mungkin dia bakal
ngelakuin hal-hal kayak gitu. Seperti yang pernah kudengar, “Sekarang dia bisa
memberikan sedikit pada kita, tapi ketika sudah terpilih ia akan mengambil
lebih banyak dari kita”
Dan jika caleg
yang bagi-bagi sembako tadi bisa dibilang pintar dalam memainkan psikologis
masyarakat. Lain halnya dengan caleg yang ditemui bapakku semalam. Bapakku berkata,
“Orang itu ga’
bener! Masa’ dia bilang kalo kita milih dia, dia mau bagi-bagiin sorbannya Nabi
Muhammad!” Katanya terdengar marah.
Otakku langsung
berpikir dan bertanya,
“Emang sorbannya
Nabi Muhammad yang dia punya ada berapa? Kalo cuma satu, gimana bagiinnya?”
Bapakku menjawab lagi,
“Ya digunting
kecil-kecil terus dibagi-bagiin...”
Whahahahahahaha!!
Hebat sekali ya
namanya politik , tak hanya uang, sembako atau pengobatan gratis bahkan sorban
Nabi Muhammad saja dijadikan alat untuk menarik perhatian masyarakat. Entah dia
menganggap masyarakat terlalu bodoh atau memang dia sendiri yang bodoh
sampai-sampai bisa berbuat janji seperti itu, aku tak tahu. Yang jelas,
terlepas dari sorban tersebut asli (kemungkinan besar sih kayaknya palsu)
membawa-bawa nama Nabi Muhammad dalam janji politik adalah hal yang buruk. Sudah
cukup agama dijadikan kedok partai politik saat ini, jangan sampai Nabi Muhammad
juga dijadikan tameng dalam meraih kursi kekuasaan. Naudzubillah min dzalik...
Untuk Naufal dan
Noura, jika kalian sudah dewasa, aku tak keberatan jika kalian punya cita-cita
sendiri. Seperti pernah kubilang aku akan mendukung penuh segala keputusan
kalian, tapi satu profesi yang kusarankan jangan kalian lakukan bahkan dekati
yaitu politikus! Ingat ya, sejelek-jelek persaingan adalah persaingan
memperebutkan kekuasaan. Pimpinlah dulu diri kalian sendiri. Karena setiap jiwa
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya. Banyak sekali orang berebut jadi pemimpin, padahal tugas pemimpin
tak lain tak bukan adalah sebagai pelayan. Sayangnya kebanyakan pemimpin saat
ini lupa akan hal tersebut. Mereka lupa mereka adalah pelayan masyarakat,
mereka lupa makanan mereka bersumber dari uang rakyat. Sehingga saat ini
korupsi begitu merajalela, politik hanya tameng untuk mendapatkan uang sebanyak
mungkin. Label pencuri saja terlalu halus untuk menyebut mereka. Jadi aku harap
kalian tidak akan berpikir untuk menjadi seperti mereka-mereka itu. Untuk
berbuat baik tidak diperlukan kekuasaan atau harta yang banyak. Yang diperlukan
hanyalah niat dan cara yang benar! Jadilah orang yang berguna dan bermartabat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar