Pages

Untuk Naufal dan Noura : Pemilu, Dari Bagi-Bagi Uang, Sembako Sampai Sorban Nabi Muhammad.





Kemarin malam seperti biasa, ayah dan kakakku ikut pengajian untuk bapak-bapak di salah satu rumah tetangga. Tapi hingga jam sembilan lewat ayahku belum pulang juga. Padahal biasanya, jam sembilan ayahku sudah berada di rumah. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul setengah sepuluh, baru terdengar suara motor kakakku memasuki halaman rumah. Sampai di dalam rumah, ibuku yang penasaran langsung bertanya pada bapakku kenapa baru pulang jam segini. Sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa ayahku menjawab, “Biasa... Udah mau pemilu...”

Mendengar jawaban ayahku ibuku langsung paham maksudnya,
“Jadi siapa yang kampanye tadi?”. Ayahku pun menjawab bahwa yang melakukan kampanye terselubung di tengah-tengah perkumpulan bapak-bapak pengajian tadi adalah partai *...* (eh boleh ga’ sih nyebut nama partai di blog?). Lalu ibuku bertanya lagi,
“Bawa apa?”. Nah pertanyaan ibuku ini mengandung pesan yang dalam.

Jadi meskipun banyak sekali kampanye yang tidak memperbolehkan politik uang, tapi kenyataannya hal tersebut masih saja terjadi. Sudah rahasia umum, jika semua partai hampir pasti melakukannya. Pun partai tersebut mati-matian menyuarakan anti politik uang, tapi caleg mereka belum tentu melaksanakannya. Dan di tengah maraknya kampanye para caleg yang berebut kekuasaan saat ini, politik uang makin gencar di lakukan. Paling terbaru, di rumahku baru saja diadakan bagi-bagi sembako gratis oleh salah satu caleg. Sepertinya caleg ini benar-benar pintar. Karena ia tahu bahwa politik uang itu dilarang, maka ia pun tidak membagi-bagikan uang melainkan sembako. Pada intinya sih sama saja, tapi secara psikologis hal ini bisa berdampak lain terutama di mata masyarakat yang menerima. Jika membagi-bagikan uang secara langsung, nilai caleg tersebut akan runtuh seketika. Terlihat sekali ia haus kekuasaan dan tidak memiliki modal lain selain uangnya. Kebusukannya langsung terendus. Tapi berbeda dengan bagi-bagi sembako.

Seperti yang caleg ini lakukan, ia membagi-bagikan sembako setelah sebelumnya meminta identitas penduduk. Tidak semua penduduk tapi hanya penduduk yang masuk dalam daftar pemilih tetap. Mereka diminta untuk mengisi formulir dan diberi kartu berisi foto dan nomor caleg tersebut. Tujuannya memang langsung terlihat jelas, tapi dengan pintarnya dalam formulir tersebut dikatakan bahwa jika kami memilihnya dan ia menang, maka ia menjanjikan pengobatan gratis bagi pemegang kartu yang ia berikan tadi. Ia juga berjanji akan membagi-bagikan sembako. Kebanyakan tetanggaku senang sekali, entah apa nanti mereka akan benar-benar memilih caleg tersebut atau tidak aku tidak tahu. Yang jelas, mereka langsung mengisi formulir tersebut. Dan meskipun kita tahu tujuannya melakukan itu agar ia dipilih tapi imagenya di mata masyarakat meningkat. Setidaknya ia terlihat lebih peduli kepada masyarakat dan tidak hanya sekedar janji.

Tak berapa lama kami yang telah mengumpulkan formulir itu dikumpulkan di rumah koordinator caleg tersebut. Di sana kami menunggu giliran untuk mendapat sembako gratis. Isinya lumayan, ada beras sekilo, minyak setengah liter dan lima mie instan. Sisanya aku tidak tahu. Ibuku sih senang-senang saja, pulang-pulang ia membawa banyak sekali sembako. Melihatnya begitu aku hanya bilang,
“Itu kalo dia ga’ menang, sembakonya mesti dibalikin lho!”
Lalu ibuku hanya menjawab, “Ya, ga’ ada hubungannya lah!”.
Aku jadi bingung, ini ibuku yang terlalu polos apa dia hanya memanfaatkan kebaikan si caleg untuk dapat sembako?

Kembali lagi ke masalah pengajian. Bapakku bilang kali ini si caleg ga’ bawa apa-apa. Ibuku langsung berkomentar,
“Hari gini mana ada yang mau milih kalo ga’ dikasih apa-apa.” Heehh... Kalo aku sih biar dikasih apa pun tetep aja ga’ mau milih. Karena kalo si caleg udah berani ngasih-ngasih sesuatu termasuk sembako kayak tadi, itu menandakan ia ga’ pede ama kemampuannya. Kalo emang dia caleg yang baek ga’ mungkin dia bakal ngelakuin hal-hal kayak gitu. Seperti yang pernah kudengar, “Sekarang dia bisa memberikan sedikit pada kita, tapi ketika sudah terpilih ia akan mengambil lebih banyak dari kita”

Dan jika caleg yang bagi-bagi sembako tadi bisa dibilang pintar dalam memainkan psikologis masyarakat. Lain halnya dengan caleg yang ditemui bapakku semalam. Bapakku berkata,
“Orang itu ga’ bener! Masa’ dia bilang kalo kita milih dia, dia mau bagi-bagiin sorbannya Nabi Muhammad!” Katanya terdengar marah.
Otakku langsung berpikir dan bertanya,
“Emang sorbannya Nabi Muhammad yang dia punya ada berapa? Kalo cuma satu, gimana bagiinnya?” Bapakku menjawab lagi,
“Ya digunting kecil-kecil terus dibagi-bagiin...”
Whahahahahahaha!!
Hebat sekali ya namanya politik , tak hanya uang, sembako atau pengobatan gratis bahkan sorban Nabi Muhammad saja dijadikan alat untuk menarik perhatian masyarakat. Entah dia menganggap masyarakat terlalu bodoh atau memang dia sendiri yang bodoh sampai-sampai bisa berbuat janji seperti itu, aku tak tahu. Yang jelas, terlepas dari sorban tersebut asli (kemungkinan besar sih kayaknya palsu) membawa-bawa nama Nabi Muhammad dalam janji politik adalah hal yang buruk. Sudah cukup agama dijadikan kedok partai politik saat ini, jangan sampai Nabi Muhammad juga dijadikan tameng dalam meraih kursi kekuasaan. Naudzubillah min dzalik...

Untuk Naufal dan Noura, jika kalian sudah dewasa, aku tak keberatan jika kalian punya cita-cita sendiri. Seperti pernah kubilang aku akan mendukung penuh segala keputusan kalian, tapi satu profesi yang kusarankan jangan kalian lakukan bahkan dekati yaitu politikus! Ingat ya, sejelek-jelek persaingan adalah persaingan memperebutkan kekuasaan. Pimpinlah dulu diri kalian sendiri. Karena setiap jiwa adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Banyak sekali orang berebut jadi pemimpin, padahal tugas pemimpin tak lain tak bukan adalah sebagai pelayan. Sayangnya kebanyakan pemimpin saat ini lupa akan hal tersebut. Mereka lupa mereka adalah pelayan masyarakat, mereka lupa makanan mereka bersumber dari uang rakyat. Sehingga saat ini korupsi begitu merajalela, politik hanya tameng untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin. Label pencuri saja terlalu halus untuk menyebut mereka. Jadi aku harap kalian tidak akan berpikir untuk menjadi seperti mereka-mereka itu. Untuk berbuat baik tidak diperlukan kekuasaan atau harta yang banyak. Yang diperlukan hanyalah niat dan cara yang benar! Jadilah orang yang berguna dan bermartabat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar